Mencabut Akar Pohon Kemungkaran

Oleh: Sulthon Dedi Wijaya, M.Pd.; Ketua PRM Sidomojo – Krian

Mbatin Terhadap Kemungkaran

Suatu ketika ada pohon yang cukup besar di tengah sawah di tepi jalan yang berada di sebelah aliran irigasi persawahan yang sudah tumbang diterjang hujan badai beberapa hari sebelumnya. Ketika melihat pohon dengan usia puluhan bahkan yang ratusan tahun, kesan pertama yang muncul di benak orang awam adalah angker dan wingit. Perasaan takut bagi yang akan menebangnya dengan alasan macam-macam.

Hanya kekuatan yang maha dahsyat yang mampu menggulingkannya. Iya, itulah kekuatan alam; Kekuatan Tuhan Yang Maha Perkasa; Allah SWT.

Ketika Allah menurunkan air hujan yang disertai angin kencang, maka pada saat itulah segala kesombangan dan kecongkakan makhluk penghuni bumi akan dengan mudahnya Ia cabut dari relung hati dan sanubari. Sebagaimana mudahnya Dia mencabut akar sebuah pohon besar dan dianggap angker yang terkadang dijadikan symbol kesyirikan dan pemujaan fana. Tidak ada protes dan perlawanan dari penghuninya bahkan pemilik pohon tersebut. Justru yang ada adalah rasa syukur dan suka cita termasuk orang-orang yang melihatnya.

Pengalaman serupa saat ada sarang Tawon Vespa di atas pohon kelengkeng di belakang rumah kami. Ukurannya bisa dibilang super jumbo. Sebesar kepala orang dewasa dan memanjang kebawah. Setiap kali lewat di bawahnya ada rasa merinding dan takut jikalau penghuninya keluar dan menyerang dengan sengatnya. Yang bisa kami lakukan adalah sambat dan mbatin, “Ya Allah semoga mereka segera pindah dengan sukarela; Wahai para tawon sekiranya kalian pergi dengan sukarela, tentu kami tidak akan menggangu kalian.” Dan atas ijin Allah setelah hampir satu bulan mereka pergi entah kemana. Hanya sepersekian persen saja yang tersisa. Sehingga memunculkan keberanian kami untuk menjatuhkan sarang tersebut.

Kita harus yakin bahwa setiap kata dalam kalimat yang kita panjatkan dalam bahasa sambat atau mbatin pasti didengar olehNya, Innahu huwassami’ul aliim. Bahasa lirih yang terkadang masih tersimpan dalam hati dan pikiran. Lantunan kata yang belum terucap lewat lisan dan mulut. Bahasa kaum lemah dalam artian belum mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk berontak, melawan atau merubah ketidaknyamanan sosial. Bahasa kaum yang terdzolimi dalam konteks bahasa sindiran (satire dan sarkasme).

Baca Juga :  Masjid Sebagai Pusat Dakwah Al Ma'un

Kemungkaran Sosial dan Teologis

Menyinggung tentang kemungkaran, dalam konteks sosial; berarti pelanggaran regulasi, POB (prosedur operasional baku), atau keputusan yang telah disepakati. Melanggar aturan atau tatanan; memanipulasi dan menciptakan fakta dan data (baru). Dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan berorganisasi sering kita jumpai hal-hal seperti ini. Terlepas dari kesengajaan atau ketidaktahuan, atau pura-pura tidak tahu ; salah satu dampak dari kemungkaran itu adalah munculnya social disorganization. Keadaan masyarakat yang ditandai dengan rusaknya kontrol sosial yang efektif yang mengakibatkan kurangnya integrasi fungsional antar kelompok konflik perilaku sosial, dan ketidaksesuaian individu dalam bersikap. Termasuk yang kedua yaitu terjadinya mal-administrasi sebagaimana ditulis Hendra dkk (2013) seperti deceitful practice. Yaitu praktik kebohongan dan ketidakjujuran informasi publik. Informasi yang disuguhkan sering menjebak dan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Termasuk munculnya penyakit-penyakit birokrasi (Bureaupathologis) seperti menjilat atasan (psycophancy) dan pembengkakan jumlah staf (over staffing).

Sedangkan dalam konteks teologis dan ketuhanan, kemungkaran berarti kedurhakaan atau pengingkaran, pelanggaran aturan atau hukum Tuhan Pencipta Semesta Alam (syari’at). Seperti meninggalkan perintah wajib dalam syariat; shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan menyekutukan Allah (syirik). Dalam konteks alam semesta seperti melanggar sunnatullah atau hukum alam. Dalam hal ini maka akan berlaku hukum kausalitas (sebab dan akibat). Ada reward and punishment. Setiap perbuatan mungkar pasti akan membawa dampak bagi pelaku atau orang disekitarnya, sekarang atau nanti. “Dan diletakkanlah kitab (catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang yang berdosa(yang melanggar aturan/criminal) ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun”. (Al Kahfi 49)

Baca Juga :  Beragama itu Mudah, Tidak Ribet

Dalam dunia dakwah, selain dengan bahasa hati (mbatin), masih ada dua cara untuk merubah sebuah kemungkaran. Pertama dengan tangan (power/kekuatan/kekuasaan). Kedua, dengan lisan (nasehat secara langsung). Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi dalam Kitab Arbain Nawawi No 34. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim, no. 49]

Baca Juga :  Ortom UMSIDA Mengajak Mahasiswa Ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Mensikapi Kemungkaran

Mengingkari kemungkaran dengan hati bukan hal yang rendah dan hina. Karena itulah yang harus dilakukan dalam strata wong cilik yang tidak memiliki kekuasaan dan lisan untuk merubah kemungkaran. Bukan hanya diam berpangku tangan apalagi senang dan berdamai dalam lingkaran kemungkaran. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Pengingkaran terhadap kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap muslim dalam segala keadaan. Adapun pengingkaran dengan tangan dan lisan menyesuaikan kapasitas yang dimiliki.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam)

Pesan Rasulullah SAW juga harus menjadi renungan bagi kita untuk tidak diam seribu bahasa saat melihat kemungkaran. Sebagaimana sabda beliau, “Sesungguhnya manusia apabila melihat kemunkaran, kemudian mereka tidak merubahnya dikhawatirkan Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka.” (HR. Ibn Majah)

Ada tiga hal terkait hadits-hadits diatas. Pertama, mengingkari kemungkaran itu sama dengan menasihati (watawashoubil haq), bukan menjelek-jelekkan. Kedua, mengingkari kemungkaran dengan alat bukti, data empiris, berdasarkan apa yang dilihat bukan hanya didengar untuk menghindari fitnah. Ketiga, anjuran untuk mengajak yang haq (kebenaran) harus dengan cara yang santun, beradab, baik, benar, tepat dan penuh hikmah. Tidak pula mengingkari sebuah kemungkaran dengan cara yang mungkar pula.

Baca Juga :  Silaturrahim Da'i dan Khotib

Al quran pun sudah menjelaskan dalam beberapa ayatnya. Seperti dalam surat Ali Imron ayat 110, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Juga surat An Nahl ayat 125 yang memerintahkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

Sebagai simpulan, dimanapun dan kapanpun kita melihat, mendengar, atau bahkan merasakan kemungkaran dalam konteks apapun di kehidupan ini, tetaplah menggunakan Bahasa Hati jika belum memiliki tangan wesi dan idu geni. Keep mBatin and Nyambat. Mudah-mudahan Allah mengubah kemungkaran tersebut dengan caraNya. “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu; Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Al Anfal 9)

Baca Juga :  Hadiri Pelantikan Warek Umsida, Ketua PWM Jatim Dr Sukadiono : Jangan Lupa Kesejahteraan Tendik dan Sering Ajak 'Ngopi' AMM

Ingkari setiap hal yang melanggar aturan dengan hati yang jernih. Tetaplah antipati dan tidak berempati terhadap ketidakSOPan dengan data, fakta dan realita; bukan dengan mengadi-ngadi. Berbuatlah sewajarnya, berdoalah sekencangnya, berserahlah (tawakkal) setinggi-tingginya atas segala upaya hanya kepadaNya. Tetaplah yakin bahwa setiap munajat kebenaran akan didengarNya meskipun lirih dan tidak terdengar oleh kebanyakan telinga manusia (yang mungkar). Dan setiap upaya untuk mengubah kemungkaran sekecil apapun pasti dilihatNya. Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, Sesungguhnya yang batil itu pasti akan hancur/sirna.” (Al Isro’ 81).

Sikapi segala bentuk kemunkaran dengan tauhid yang lurus sebagai langkah preventif. Ketauhidan individu maupun kelompok harus saling menguatkan. Dengan memahami dan meresapi setiap bentuk amaliyah syar’i untuk kemudian menerapkannya dalam kehidupan masing-masing atas dasar keimanan, ketaatan dan ketakwaan yang murni. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Kata dzikrullah (mengingat Allah) dalam kontek sholat berarti menghadirkan hati (khusyuk) dalam setiap bacaan dan gerakannya sebagaimana termaktub dalam surat Al Ma’un ayat 4-5, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” Dalam praktik sholat saja yang notabene mu’amalah dengan Sang Pencipta kita diwanti-wanti agar tidak lalai dengan sang Pencipta (Al Khaliq), apalagi dalam kontek mu’amalah dengan sesama makhluk.

Baca Juga :  Musyda 11 PDM Sidoarjo Cerminan Kualitas Keulamaan Seorang Pemimpin

Semoga ketentraman dan kekhusyukan hati, lisan, pikiran, dan anggota tubuh kita dalam setiap bentuk praktik amaliyah mampu menjaga kita dari segala bentuk kemunkaran. Aamiin.

Nasrun minallahi wa fathun qorib

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

22FansLike
113FollowersFollow
SubscribersSubscribe
- Advertisement -

Latest Articles