Gara-Gara Beda Hari Lebaran, Darah Warga Muhammadiyah Dihalalkan?

AKAR PERBEDAAN

Terkait penentuan awal dan akhir bulan hijriyah dikenal dua metode, yaitu metode Ru’yat dan Hisab. Secara prinsip, tidak ada yang menampik dua metode ini. Karena yang mengaku mendukung metode ru’yat, menerima dan mengakui hasil perhitungan hisab. Sementara yang mengaku mendukung metode hisab, mau tidak mau harus mengakui bahwa metode hisab adalah buah dari akumulasi hasil pengamatan lahiriah. Sama seperti halnya jadwal shalat lima waktu yang cukup dengan merujuk kalender hasil hisab tanpa perlu lagi melihat ada tidaknya dan panjang pendeknya bayangan matahari. Dan kedua metode tersebut sama-sama diakui keabsahannya. Sama-sama memiliki landasan argumentasi atau dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis.

Sama-sama mempunyai referensi pendapat dari para ulama klasik maupun kontemporer. Jika ditilik, perbedaan sebenarnya tidak terletak pada kesangsian tentang akurasi metode hisab (karena kedua belah pihak sama-sama mengakuinya), tetapi justru terletak pada penentuan kriteria bilamana suatu bulan itu dinyatakan berakhir atau bermula.

Pendapat yang pertama, mewajibkan harus melihat dengan mata telanjang (bil-fi’l) atau setidaknya memungkinkan untuk bisa teramati secara langsung. Maka kemudian muncullah istilah imkan al-ru’yat, yang sekarang mensyaratkan kriteria ketinggian hilal 3 derajat, merevisi kriteria sebelumnya 2 derajat. Artinya, meskipun secara hisab (perhitungan astronomi) hilal dapat dipastikan sudah berada di atas ufuk, tetapi jika kurang dari 3 derajat, maka diyakini mustahil bisa diamati secara langsung oleh mata lahiriah.

Dengan kriteria ini, bulan-bulan baru hijriyah, tak hanya Ramadan, sudah tentu mengikuti kriteria yang sama. Umat Islam yang istiqamah puasa Bidh (hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah) mungkin tiap bulannya membutuhkan keputusan hasil sidang isbat berdasarkan pengamatan langsung supaya tidak keliru hari.

Pendapat yang kedua, tidak mensyaratkan harus melihat hilal dengan mata telanjang, tapi cukup melihat berdasar ilmu yang telah teruji berdasarkan pengalaman melihat hilal (bil-’ilm), atau melalui perhitungan ilmu falak atau astronomi.

Di sini, berakhir atau bermulanya bulan hijriyah tidak beranjak dari syarat dan kriteria visibilitas dengan ketinggian hilal 2 atau 3 derajat, tetapi sudah bisa dipastikannya bahwa hilal telah ada atau berada di atas ufuk (wujud al-hilal) ketika terjadi konjungsi geosentris sebelum matahari terbenam (ijtima’ qabl al-ghurub).

Dengan kriteria ini, maka awal dan akhir bulan hijriyah sudah bisa ditentukan jauh-jauh hari. Bahkan dengan perkembangan ilmu astronomi dan dukungan aplikasi teknologi saat ini, awal dan akhir Ramadan ratusan tahun kedepan sudah bisa diperhitungkan atau disimulasikan sejak sekarang.

BOLEH BERBEDA. Penentuan awal dan akhir bulan hijriyah ini bisa terpahami belum merupakan suatu ijma’ (kesepakatan umum para ulama). Bahkan isu pokoknya bukanlah merupakan permasalahan akidah pun ibadah, tetapi lebih merupakan diskursus ilmiah (sains) terkait sarana/alat penentuan waktu.

Kalaupun ditarik ke ranah ijtihad hukum yang memiliki keterkaitan dengan praktik ibadah, maka pergeseran kriteria imkan al-rukyat dari 2 ke 3 derajat sendiri merupakan bukti bahwa masalah ini masih belum final, masih dinamis, memungkinkan berlakunya kaidah تغير الأحكام بتغير الزمان, hukum bisa berubah seiring perubahan waktu; atau الحكم يدور مع علته وجودا وعدما, ada atau tidaknya suatu hukum bergerak mengikuti sebab/illat-nya.

Baca Juga :  Muhammadiyah Bukan Dahlaniyah
Baca Juga :  Berani Bela LGBT Atas Nama HAM? Anwar Abbas : Itu Tindakan Anti Kemanusiaan

Sementara dalam khazanah intelektual Islam, termasuk di bidang Ilmu Falak, dua pendapat di atas juga masih sama-sama hidup dan mendapatkan tempat dan dukungan di kalangan umat Islam, di Indonesia contoh kongkritnya. Maka terkait hal ini, suatu ijtihad tidak bisa digugurkan atau dianulir oleh ijtihad sejenis lainnya: الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد.

MELAWAN PEMERINTAH? 

Di Indonesia, penentuan awal dan akhir bulan Ramadan dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, bukan Peraturan Perundang-undangan atau Konstitusi. Maka tidak mungkin menentang amanat UU apalagi UUD, yang Pasal 29 ayat (2)-nya menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Keputusan itupun sifatnya juga tidak memaksa atau mengharuskan bahwa semua umat Islam di Indonesia wajib mengikutinya (ilzam hukm al-hakim ‘ala al-ra’iyah).

Terkait perbedaan yang muncul di tengah umat Islam karena perbedaan keyakinan terkait kriteria penentuan awal/akhir bulan hijriyah, Menteri Agama sendiri secara bijaksana telah menegaskan kepada publik untuk tetap mengedepankan ukhuwah dan toleransi. Bahkan praktik yang hidup di tengah umat Islam selama ini juga sudah sangat lapang menerima keragaman.

Semisal, setelah keputusan awal Ramadan diumumkan oleh pemerintah, umat Islam yang tidak berpuasa di bulan Ramadan yang merupakan ibadah fardhu atau wajib, pun tidak dipermasalahkan sebagai orang-orang yang melawan atau membangkang terhadap pemerintah atau dituduh sebagai musuh bersama bangsa.

Maka kepada mereka yang sudah menunjukkan ketaatan beragama, yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi, dengan menjalankan ibadah puasa selama Ramadan, TERLAMPAU BERLEBIHAN kiranya jika harus dituduh melawan, membangkang, bahkan musuh bersama hanya karena memilih mengawali bulan Syawal sehari lebih dulu karena konsekuensi ijtihadiyah (penggunaan sarana/alat penentuan waktu) yang secara ilmiah juga fikhiyah bisa sama-sama diterima dengan yang memilih mengakhirkan bulan Ramadan sehari lebih lama.

HALAL DARAHNYA?

Dalam tradisi sunni Islam, kita mengenal dan mengikuti beberapa kaidah umum.

Kaidah pertama: Wajib menaati mereka yang berwenang tanpa mendurhakai Allah (وجوب طاعة وُلاة الأمور في غير معصية الله).

Kaidah kedua: Dilarang menaati mereka dalam ketidaktaatan kepada Allah (تحريم طاعتهم في معصية الله).

Kaidah ketiga: Kewajiban bersabar terhadap penindasan para penguasa dan larangan memberontak terhadap mereka hanya karena hal tersebut (وجوب الصَّبر على جَور الولاة وتحريم الخروج عليهم لمجرَّد ذلك).

Kaidah keempat: Tujuan terbesar dari penunjukan pejabat berwenang dan penguasa adalah untuk menegakkan agama (المقصود الأعظم من نَصْب الولاة والحُكَّام إقامةُ الدِّين).

Pemerintah Republik Indonesia tentu akan tegak lurus menjamin dan melindungi umat beragama supaya dapat menjalankan keyakinannya tanpa ada diskriminasi, represi, dan intimidasi (إقامةُ الدِّين).

Pemerintah dalam seluruh produk keputusan dan kebijakannya tentu juga tidak dalam rangka melakukan atau melanggengkan penindasan atas individu maupun golongan umat beragama tertentu (جَور الولاة), tetapi sebaliknya, untuk merealisasikan prinsip maslahah yang berkeadilan.

Baca Juga :  MCCC Sidoarjo Siapkan Lumbung Pangan Bantu Warga Terdampak Covid-19

Lantas mengapa kemudian Muhammadiyah masih memilih opsi berbeda dengan apa yang sudah diputuskan oleh Pemerintah terkait penentuan akhir bulan Ramadan atau awal bulan Syawwal? Bukankah ada kaidah yang mengatakan: hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf (حُكم الحاكم يَرفَع الخلاف) atau Putusan Hakim Menghilangkan Perbedaan Pendapat? ‘Abdullah bin Muhammad al-Mazru’ di bukunya Ilzam Waliy al-Amr Ra’iyyatah fi al-Masail al-Mukhtalaf fiha bayn al-Fuqaha (إلزام وليِّ الأمر رعيتَه في المسائل المختلَف فيها بين الفقهاء) atau Pemaksaan Kebijakan Penguasa atas Rakyatnya dalam Persoalan yang Terdapat Perselisihan Pendapat di Antara Para Fuqaha`, sempat menjelaskan jika mayoritas ulama klasik memahami kaidah ini dalam konteks perselisihan hukum yang bersifat khusus yang dimajukan atau dimohonkan ke muka hakim/pengadilan.

Baca Juga :  Pemuda Muhammadiyah Laporkan Bupati Sidoarjo ke Polda Jatim

Meski oleh sebagian kalangan saat ini, kaidah tersebut dijadikan dalil dengan pemaknaan yang lebih umum dan meluas. Dari kajiannya, al-Mazru’ berkesimpulan bahwa mayoritas ulama memang berpendapat jika hukm al-hakim dalam kaidah tersebut, baik al-hakim yang dimaksudkan di sini adalah penguasa (waliy al-amr), hakim (al-qadi), ataupun arbitrator (al-hakam) berlaku dalam persoalan-persoalan peradilan atau yang diperselisihkan dan dimohonkan penyelesaiannya, yang bersifat khusus antara pihak yang berkepentingan seperti sengketa perdagangan, pengupahan, pernikahan, perceraian, dan semisalnya. Bukannya terkait dengan persoalan-persoalan kekuasaan di mana terdapat upaya pemaksaan suatu pendapat tertentu agar diterima secara umum di antara pendapat-pendapat lainnya dalam perkara yang masih ada silang pendapat di antara para ulama (al-masa`il al-khilafiyah).

Jadi TERLAMPAU BERLEBIHAN jika ditarik-tarik hingga ke ranah pertarungan politik kekuasaan. Ketika Kyai Dahlan dulu mempelopori perbaikan arah kiblat sesuai dengan sains dan semangat syariat, apakah beliau tengah berbuat makar atau melawan kekuasaan politik Keraton saat itu? Apakah Kyai Dahlan tengah mengobarkan pemberontakan melawan penguasa yang sah dan karenanya beliau pantas dihukumi sebagai bughat dan halal darahnya? Tentu tidaklah demikian.

Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah saat ini, sebenarnya adalah ekspresi tradisi keagamaan yang terwariskan sejak Kyai Dahlan dulu itu dan masih segar hidup di kalangan warga Persyarikatan sekarang ini, yakni Islam yang Berkemajuan.

Sebuah ikhtiar untuk bisa taat beragama dan lebih mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dalam al-Qur’an maupun sunnah Rasul-Nya Muhammad Saw. Beragama atas dasar iman dan ilmu. Menjadi religius tanpa memunggungi perkembangan sains dan teknologi. Pada masanya, Kyai Dahlan sempat dikafir-kafirkan, bahkan suraunya dirobohkan.

Tapi seiring perjalanan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, semua pada gilirannya bisa menerima bahwa yang digagas oleh beliau tidaklah menyelisihi bahkan senafas dengan jiwa dan semangat syariat agama. Kalaulah hari ini pandangan keagamaan Muhammadiyah masih belum bisa diterima sepenuhnya, maka waktu serta perkembangan sains dan teknologi di masa depan akan menjadikan sejarah pembaharuan arah kiblat di abad pertama Muhammadiyah mungkin berulang dalam bentuk penerimaan pembaharuan penentuan awal dan akhir bulan hijriyah di abad kedua Persyarikatan.

Baca Juga :  ANTARA PUNK DAN KEMANUSIAAN

TRADISI AHLUSSUNNAH. Para Imam Ahlussunnah wal-Jama’ah memberi keteladanan yang begitu indah tentang bagaimana harus bermuamalah dalam keragaman pemahaman keagamaan. Para ulama tersebut tidak memiliki tradisi merasa paling benar sendiri dan menutup adanya kemungkinan kebenaran dari pihak lain. Beliau-beliau pun tidak pernah memaksakan pandangan ijtihad mereka agar diterima oleh umat. Inilah mengapa Imam Malik melarang Harun al-Rashid tatkala berkeinginan mewajibkan rakyatnya mengikuti mazhab beliau dalam kitabnya al-Muwatta’. Beliau berkata: إنما أنا بشر أصيب وأخطئ فاعرضوا قولي على الكتاب والسنة. Beliau tetap merasa sebagai manusia biasa yang bisa benar dan bisa keliru.

Baca Juga :  Orientasi Soft Skill Kader Muda Masjid Muhammadiyah

Perkataan beliau ini senada dengan pendahulunya, Imam Abu Hanifah, yang mengatakan: هذا رأيي فمن جاءنا برأي أحسن منه قبلناه. “Ini pendapatku, maka siapapun yang datang kepada kami dengan pendapat yang lebih baik darinya, tentu kami menerimanya.”

Sesudah beliau, Imam Syafi’i mengatakan: قولي صواب يحتمل الخطأ، وقول المخالف خطأ يحتمل الصواب. “Pendapatku menurutku benar, tetapi ada kemungkinan keliru. Sementara pendapat yang menyelisihi pendapatku menurutku keliru, tetapi berpotensi benar.”

Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata: ما ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه ولا يشدد عليهم. Jadi, tidak sepantasnyalah bagi seseorang yang mendalam pengetahuan agamanya untuk membawa dan menekan orang-orang agar mengikuti pendapat atau mazhabnya.

Sisi lain, dalam tradisi sunni Islam, kita juga mengenal dan mengikuti kesepakatan ulama bahwa ketika seseorang mengetahui suatu kebenaran, ia tidak diperbolehkan taqlid mengikuti siapapun yang menyelisihinya.

MODERASI BERAGAMA.

Dalam sejarahnya, warga Persyarikatan Muhammadiyah sudah kenyang dengan cemooh hingga fitnah: dari dibid’ahkan, dikafirkan, dianggap musuh, hingga diancam bunuh. Jadi, jika sekarang ada yang viral menghalalkan darah warga Muhammadiyah, tentu itu bukan sesuatu yang baru. Guru-guru kita mengajari, sebagai murid-murid Kyai Dahlan kita dilarang mengembangkan sikap beragama yang didasari oleh semangat membenci. Sebaliknya, harus dengan semangat mencintai: kepada sesama manusia, saudara sebangsa, dan lebih-lebih saudara seiman Islam. Kata Kyai Dahlan, Muhammadiyah iku dijiwit dadi kulit, dicetot dadi otot.

Responlah sikap, perkataan, dan perbuatan yang menyerang dan menyakitimu dengan cara-cara berkeadaban tinggi, yang tetap mengedepankan akhlak yang mulia. Kita diajari untuk mengamalkan pesan Rasulullah Saw. bahwa sesama saudara dilarang saling dengki, saling benci, saling abai, saling menyakiti. Bahkan sebisa mungkin, jangan pernah terucap perkataan yang tidak baik tentang saudara kita.

Karena guru-guru kita mengingatkan, jika fikiran dan hati kita ini isinya adalah ketulusan dan kasih sayang, insya Allah, bukan kalimat yang buruk apalagi kebencian yang akan terucap oleh bibir kita. Jangan meniru perilaku yang dikecam dalam al-Qur’an: قَدْ بَدَتِ ٱلْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ. “Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.”

Fastabiqul-khayrat!
Kedungbanteng, Sidoarjo
(27/4/2023)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

22FansLike
113FollowersFollow
SubscribersSubscribe
- Advertisement -

Latest Articles