Silaturrahim Da’i dan Khotib oleh: Sulthon Dedi Wijaya, Dosen UMSurabaya.
Fasco.id – Alhamdulillah, Sabtu, 17 September 2022 kami hadir di Pendopo Delta Wibawa Kabupaten dalam acara Silaturrahim Dai dan Khotib di wilayah Sidoarjo yang bertemakan Penguatan Islam Wasathiyah untuk Indonesia Damai.
Perwakilan Korp Muballigh Muhammadiyah (KMM) dan PDM Sidoarjo yang ikut hadir dalam acara tersebut diantaranya Ustadz Choirul Amin, Ustadz Ashuri, Ustadz Agoes Asianto, Ustadz Alim Wijaya, Ustadz Sulton Dedi Wijaya, Ustadz Punto Cahyo Al Adin, Ustadz Musanip, Ustadz Abdul Gafur El Bimawy, dan Ustadz Mukh Tamami.
Kegiatan pagi ini merupakan kerjasama Densus 88, Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama Kabupaten Sidoarjo, dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan juga dihadiri perwakilan ormas dari Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama, LDII dan jajaran Forkopimda Sidoarjo.
Sambutan awal langsung disampaikan oleh AKBP M. Dhofir dari Densus 88 sebagai panitia pelaksana. Beliau menegaskan bahwa kegiatan hari ini adalah bentuk silaturrahim menuju Indonesia damai dalam penguatan Islam Wasathiyah dan moderat sebagai upaya penanggulangan paham radikalisme. “Mari bersama-sama mengembangkan sikap toleransi dan menghindarkan inklusivisme”, ucap beliau.
Sambutan yang kedua langsung disampaikan oleh Bupati Sidoarjo H. Ahmad Muhdlor Ali, S.IP. Beliau menyampaikan bahwa Dai dan Khatib adalah corong masyarakat. Membawa misi mulia Islam sebagai Agama Rahmatan lil ‘alamin. Islam sebagai agama yang sangat kompleks yang mengatur hal terkecil seperti buang air kecilpun ada aturannya. Beliau juga menambahkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, namun jangan sampai mengerdilkan agama ini dengan pandangan yang sempit. Hindari teori identitas yang menganggap ormas tertentu lebih baik dari yang lain. Kegiatan ini bertujuan untuk saling silaturrahim dan menghindari perselisihan.
Acara kemudian ditutup dengan doa dan dilanjutkan oleh acara inti yaitu pemaparan dari tiga narasumber yaitu KH Marzuki Mustamar, Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, dan Ust. Abu Fida LC., M.Pdi. Ketiga pemateri memberikan pandangannya masing-masing sesuai dengan tema acara.
Prof. Nur Syam misalnya, beliau mengutip kalimat yang pernah disampaikan oleh almarhum KH. Hasyim Muzadi; “Yang sama jangan dibedakan, dan yang berbeda jangan disamakan.” Toleransi dalam paparan beliau itu ada dua. Yang pertama dan yang tidak boleh adalah toleransi teologis. Dan yang kedua dan ini dibolehkan yaitu toleransi sosiologis. Begitu pula pluralisme dalam beragama. Yang tidak boleh adalah pluralisme teologis dan yang boleh adalah pluralisme sosiologis. Islam moderat itu berarti tidak mengayuh ke kanan atau ke kiri terlalu kencang.
Kesimpulan kami (penulis), bahwa toleransi, pluralisme dan wasathiyah memang bukan istilah yang asing lagi bagi warga Muhammadiyah. Teori dan praktik sudah terimplementasikan secara teologis dan sosiologis dalam individu dan organisasi. Sebagaimana yang disampaikan Ustadz Mukh Tamami di forum bahwa beliau hidup dalam keluarga yang plural (Muhammadiyah dan NU) namun tetap saling menghormati.
Harapan kami, mudah-mudahan istilah-istilah tersebut bukan sekedar jargon yang digembar-gemborkan dan benar-benar dijadikan alat bagi siapapun untuk menyatukan ummat dan masyarakat yang heterogen di NKRI dan bukan sebaliknya untuk memecah, menghujat, mempersekusi, dan merundung baik secara verbal maupun non-verbal.