Ulama Penjual Lem oleh Sulton Dedi Wijaya Ranting Sidomojo Cabang Krian-Sidoarjo
FASCO.ID – Siapa yang disebut ulama penjual lem? Apa karena ia menjual lem? Lem merek apakah yang ia jual? Masih adakah ulama yang demikian dijaman medsos seperti ini?
Ulama identik dengan tokoh agama. Seseorang yang memiliki basic keilmuan akademik maupun non-akademik yang mumpuni dibidangnya. Secara normatif, kompetensi argumentasi, logika, retorika dan analisanya sudah teruji. Secara deskriptif, memiliki basis jama’ah dimasyarakat, ditokohkan, dijadikan role model, dan cermin dalam banyak aspek berkehidupan.
Nilai-nilai yang disampaikan dan diimplementasikan tidak lain adalah nilai-nilai yang bersifat universal (rahmatan lil alamin). Yang bersifat verbal maupun non-verbal. Yang bersifat vertikal dan horizontal. Yang berbau dunia dan akhirat. Sebagaimana misi dan tugas kenabian dan kerasulan panutan kita Nabi Muhammad SAW (Al Anbiya ayat 107). Sebagai pewaris para nabi dalam menyampaikan pesan moral, sosial, spriritual maka tentu strategi, pendekatan, dan metode yang dipakai harus bil hikmah wal mau’idhoh hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan (An Nahl 125).
Di era masyarakat yang serba milenial dan majemuk sekarang, ulama harus mampu menyampaikan nilai-nilai tersebut dengan cara dan argumentasi yang jelas dan pas. Gaya penyampainnya mesti sejuk, adem, santun, dan menyejukkan bagi siapapun. Bagi jamaahnya sendiri dan diluar jamaahnya. Tidak ada kesan memprovokasi atau memecah belah. Karena disitulah fungsi ulama sejati, yaitu menyatukan dan bukan mencerai beraikan (ummat dan anak bangsa).
Kontennyapun disampaikan secara cerdas dan bijak. Dalil aqli dan naqli yang dipilih mempunyai riwayat dan sanad yang sahih. Tidak bias dan multitafsir apalagi mengandung unsur hoax. Merujuk pada Kitab Suci Al Quran dan kitab-kitab Hadits serta sumber-sumber yang sahih. Menggunakan ilmu ‘alat’ dalam terjemahan, penjelasan dan penafsirannya. Bukan dengan tafsir binafsihi, nafsu individu dan emosi serta kepentingan duniawinya (kelompok dan golongan).
Ulama yang cerdas tahu kepada siapa ia berpetuah. Apa dan bagaimana pesan tersebut disampaikan? Dan yang terpenting juga tahu referensinya secara jelas. Bukan _qila wa qila_. Seperti pesan Nabi dalam sebuah hadits, “Khotibunnas ‘ala qodri ‘uqulihim.” “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kapasitasnya (akalnya).” Dalam ilmu pendidikan guru harus mengenal karakter dari tiap siswanya. Mengetahui gaya belajarnya. Untuk kemudian menggali potensi yang mereka miliki. Karena tugas guru tidak hanya mentransfer keilmuan (knowledge), tapi juga nilai-nilai positif (values).
Makin tinggi derajat ke ulamaannya maka makin besar pula dampaknya. Masyarakat lah yang menjadi penentu kualitas dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Manfaat atau mudharat yang dibawanya. Memudahkan atau menyulitkan, bahkan cenderung membingungkan dan sengaja mengaburkan kebenaran. Na’udzubillaah. Ulama itu menyampaikan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil. Mana yang halal dan haram, wajib dan sunnah, makruh atau mubah.
Karena sungguh tanggung jawab seorang ulama itu dunia dan akhirat. Apa yang disampaikan harus benar-benar akurat dan tidak sesat. Manfaat, maslahat dan bukan mudharat. Rahmat dan bukan laknat. Sebab pendengaran, penglihatan dan hati nuranipun (kelak) akan dimintai pertanggungjawaban. (Al Isro 36)
Jika ada yang seperti itu maka dialah yang disebut ulama penjual lem. Semua ucapan dan tindakan yang di lakukan menyatukan dan merekatkan siapapun dan apapun. Integrasi hati lisan, dan tindakan bisa dirasakan oleh siapapun. Fungsi lem ia terapkan pada ‘bidang’ yang pas secara proporsional dan profesional. Tidak dikurangi dan dilebih-lebihkan, sehingga merekat kuat. Dialah yang paham dengan apa kayu direkatkan, bagaimana kaca ditempelkan, besi yang keras disatukan, plastik yang lentur dikuatkan, dan kertas yang tipis tidak terkoyakkan.
Lem yang diperjual belikan kepada ummat adalah nilai-nilai harmoni semesta alam. Merek lemnya terbungkus dalam Al Quran, sunnah dan nilai-nilai universal. Bahasa marketingnya mampu menggaet siapapun yang mendengarnya. Kemasannya mampu menarik pasar milenial maupun kolonial untuk membeli dan menerapkan dalam kehidupannya. “Siapakah yang paling baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat 33).
Mengutip pesan Trimurti dan Kyai Pondok Modern Gontor kepada kami para santrinya, “Fi ayyi ardhin tatho’u fa-anta mas-ulun ‘an islamiha. Dibumi manapun kamu berpijak maka kamu bertanggung jawab penuh atas ke-Islamannya.” Siapapun yang menyandang kriteria-kriteria tersebut mudah-mudahan menjadi perekat ummat, jama’ah, masyarakat, dan bangsa. Jadilah seperti penjual lem yang paham betul produk yang di jualnya dan kepada siapa harus dipasarkan. Ia ajarkan pula bagaimana lem itu di aplikasikan secara tepat, manfaat dan maslahat tanpa musykilat.
Wallahu ‘alamu bishshowab