Terjajah di Kampus Merdeka (Kegelisahan Massal Merespon Sikap Rektor UI)

Fasco.id, Mahasiswa, sebuah status yang mengandung konsekuens tugas dan fungsi. Menjadi agen perubahan, penjaga nilai moral bangsa, penyambung aspirasi masyarakat atau semua hal yang pokoknya baik-baik dan selaras dengan idealisme kaum intelektual. Knopfemacher menyebut, mahasiswa adalah calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan kampus dididik menjadi calon intelektual. Sedangkan intelektual itu sendiri, diterjemahkan Prof Din Syamsuddin dalam kajiannya memiliki empat ciri, yaitu berpikir kritis, berbasis riset, menjalankan aksi, memberikan solusi. Keempat hal inilah yang menandakan mahasiswa kelak disebut sebagai kaum intelektual.

Ruang lingkup mahasiswa tidak bias dipisahkan dengan lingkungannya, yakni kampus sebagai ruang akademik, ruang ekspresi, ruang berpikir, dan medium dari berbagai konsolidasi serta aksi. Kampus sendiri memiliki sejarah yang begitu menarik untuk diulas. Awalnya, istilah kampus sebagai sebutan lain dari lembaga pendidikan tinggi hanya ditujukan untuk daerah yang luas atau lapangan. Kemudian pada abad ke-18 kata kampus digunakan untuk menggambarkan sebuah universitas Collage Of New Jersey yang sekarang berganti nama menjadi Princeton University. Dan ketika masuk abad ke-20 barulah kata kampus dikembangkan menjadi makna perguruan tinggi. Namun ada juga yang menggunakan istilah kampus untuk menyebutkan tempat yang luas atau bangunan yang luas, baik itu bangunan untuk proses belajar-mengajar atau bangunan yang lainnya.

Dengan habitat yang di dalamnya berisi kaum intelektual, kampus tentu tidak bisa dipandang hanya dari segi fisiknya. Tetapi lebih sebagai kampus tempat pengembangan ilmu pengetahuan. Di dalamnya ada proses pembentukan kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial, dan karakter. Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi, selayaknya memiliki komitmen untuk melaksanakan dan mengawal pembentukan karakter bangsa. Penulis pun menganggap kampus sebagai wahana untuk belajar, berpikir sekaligus mengekspresikan pemikiran melalui pendapat, kritik, atau berbagai format aksi yang sejalan dengan nafas demokrasi bangsa ini.

Baca Juga :  Tokoh Muhammadiyah Sidoarjo Rapatkan Barisan untuk Partai Umat, Ada Apa?
Baca Juga :  Partai Gelora Sebut Pasangan Kelana - Dwi Astutik Kombinasi Kaum Urban - Tradisional yang Tepat

Terlebih dengan munculnya semangat Kampus Merdeka sebagai salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ekspresi dari gagasan seharusnya mendapat penghormatan. Jangan Kampus Merdeka ini hanya berwujud birokrasi administrasi dari sejumlah formalitas program berbasis kuota anggaran.

Pun dengan apa yang telah dilakukan oleh para aktifis di Badan Esekutif Mahasiswa Universitas Indonesia dengan pemberian gelarnya kepada Presiden Jokowi sebagai “The King Of Lip Service”. Pemberian gelar ini tentu bagian dari aksi yang mengekspresikan kekecewaan terhadap Presiden Jokowi yang dinilai senang mengobral janji. Salah satunya dukungan Jokowi terhadap aksi mahasiswa. Hingga pihaknya mengatakan kangen untuk demo karena pemerintah perlu di control. Realitanya di lapangan, kekerasan terhadap pendemo, penangkapan dan pencegatan masa aksi tak mungkin dilupakan. Begitupun terkait sikap Jokowi terhadap penolakan UU Cipta Kerja yang penuh dengan basa-basi.

Tindakan yang dilakukan BEM UI sesungguhnya adalah ekspresi yang otentik karena distrust terhadap pemerintah. Sayang, reaksi pimpinan di Universitas Indonesia terlampu berlebihan sehingga harus mengeluarkan surat undangan yang bersifat penting dan segera pada tanggal 27 Juni 2021.

Fakta bahwa aksi para mahasiswa ini membuat Rektorat Universitas Indonesia harus melakukan klarifikasi menjadi tanda betapa terjajahnya ruang ekspresi mahasiswa di tengah jargon Kampus Merdeka terus mengemuka. Ketika forum diskusi, kajian-kajian kritis tidak lagi didukung bahkan oleh pihak kampus, saya langsung teringat puisi Wijhi Thukul. “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversive dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata, Lawan!!!”

Fenomena ini menambah deretan noda demokrasi bangsa Indonesia. Karena berdasarkan laporan dari organisasi hukum Lokataru Foundation, mencatat sejak 2015 terdapat setidaknya 110 mahasiswa di Indonesia yang mendapat sanksi dari pihak kampus karena terlibat aksi demo, belum lagi catatan dari AMAR law firm and public interest law Office yang di unggah dari media CNN Indonesia yang mencatat ada 37 perguruan tinggi yang mengancam akan memberikan sanksi bagi mahasiswa yang demo #reformasidikorupsi, Advokat AMAR Maraden saddad mengatakan “ada 72 aduan yang masuk kepadanya sejak 29 september 2019” Maraden juga menyebutkan ada lima sanksi yang diadukan kepadanya yaitu diantaranya adalah pemberian surat edaran larangan ikut aksi serta intimidasi ancaman DROP OUT kepada mahasiswa yang ikut aksi, Dengan demikian secara tidak langsung mengaca dari kasus kasus tersebut intimidasi dari pihak kampus terhadap mahasiswanya adalah sebuah tindakan yang secara moril merusak mahasiswanya dalam menjalankan tugas dan ekspresi mereka dalam menyikapi sebuah kebijakan, terlebih ancaman DROP OUT yang menajdi prioritas pihak kampus dalam menyikapi mahasiswanya yang ikut aksi adalah sebuah tindakan tidak masuk akal dalam pemlihan sebuah ancaman karena ini jelas melanggar hak hak konstitusi pendidikan, seperti kata Dahnil anzar selaku pengamat politik mengatakan “ Ancaman DO oleh kampus untuk mahasiswanya yang berdemonstrasi adalah ancaman serius terhadap konstitusi Indonesia. Ancaman serius terhadap kebebasan mimbar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Universitas.”

Baca Juga :  Pengurus PSI se Jatim Serentak Salurkan Bantuan Sosial Covid-19
Baca Juga :  Tangani Pengangguran, Pemuda Muhammadiyah Harapkan Kerja Luar Biasa Gus Muhdlor - Subandi

Mengenai Kebebasan berpendapat, terlebih seorang aktivis atau mahasiswa berpendapat adalah buah dari berpikir kritisnya maka perlu dijamin haknya dalam berpendapat seperti yang diatur dalam banyak konstitusi kita , semisal, UUD 1945 pasal 28E ayat 2 dan 3 pasal 28F sedangkan untuk kebebesan akademik sendiri tertulis dalam pasal 8 ayat 1 samapi 3 UU dikti. Ini jelas konstitusi ini sudah bersesuaian dengan jaminan kebebasan berpendapat yang terdapat dalam pasal 19 Universal declaration of Human Rights 10 Desember 1948, dengan jaminan demikian seharusnya para mahasiswa maupun aktivis ataupun semua kalangan dapat bebas berpendapat sesuai dengan apa yang mereka ekspresikan.

Harapan saya tidak jau jauh terkait kebebasan berskpresi atau berpendapat ini, saya yang saat ini berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo semester 8 berharap kampus saya menjamin kebebasan berpendapat mahasiswanya dalam mengekspresikan semua hal yang mereka ekspresikan dan tidak menghalangi serta mengintimidasi mahasis wanya yang melakukan aksi atau reaksi dari pendapatnya untuk melakukan sebuah tindakan atau gerakan, dan terlebih untuk tidak mengancam dan mengintimidasi dengan ancaman DROP OUT bagi mahasiswa UMSIDA yang berpendapat ataupun mengikuti aksi demonstrasi.

Ditulis oleh : Ilham Arrasyid/Mahasiswa UMSIDA

Related Articles

Stay Connected

22FansLike
113FollowersFollow
SubscribersSubscribe
- Advertisement -

Latest Articles